Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang-piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Praktik seperti ini telah ada sejak jaman Rasulullah SAW. Dan Rasulullah sendiri pernah melakukannya. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong.
Dasar Hukum Gadai
Boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijtihad. Dari ketiga sumber hukum tersebut disajikan dasar hukum sebagai berikut:
1. Al-Qur’an : Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah Q.S Al-Baqarah ayat 282 dan 283. Inti dari dua ayat tersebut adalah: “Apabila kamu bermu’amalah tidak secara tuni untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskan, yang dipersaksikan dua orang saksi laki-laki atau satu seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan”.
2. As-Sunnah : Dalam hadist berasal dari ‘Aisyah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga yang diutang, sebagai tanggungan atas utangnya itu Nabi Muhammad SAW menyerahkan baju besinya (HR. Bukhari).
3. Ijtihad : Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist di atas menunjukkan bahwa transaksi atau perjanjian gadai dibenarkan dalam Islam bahkan Nabi Muhammad SAW pernah melakukannya. Namun demikian, perlu dilakukan pengkajian lebih dalam dengan melakukan Ijtihad.
Persamaan Gadai dengan Rahn:
1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang,
2. Adanya agunan sebagai jaminan utang,
3. Tidak boleh mengambil mamfaat barang yang digadaikan,
4. Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai,
5. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Perbedaan Rahn dengan Gadai:
1. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari keuntungan; sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong-menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan.
2. Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak; sedangkan dalam hukum Islam, hak Rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
3. Dalam Rahn, menurut hukum Islam tidak ada istilah bunga uang.
4. Gadai menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga, yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian; Rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.
Aspek-Aspek Pendirian Gadai Syari’ah.
Adanya keinginan masyarakat untuk berdirinya lembaga gadai Syari’ah dalam bentuk perusahaan, mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga gadai perusahaan yang benar-benar menerapkan prinsip Syari’ah Islam. Untuk mengakomodir keinginan ini perlu dikaji berbagai aspek penting, antara lain:
1. Aspek Legalitas.
2. Aspek Pemodalan.
3. Aspek Sumber Daya Manusia.
4. Aspek Kelembagaan.
5. Aspek Sistem dan Prosedur.
6. Aspek Pengawasan.
Mekanisme Operasional Gadai Syari’ah (Rahn).
Berjalannya perjanjian gadai sangat ditentukan oleh banyak hal. Antara lain adalah subyek dan obyek perjanjian gadai. Subyek perjanjian gadai adalah Rahin (yang menggadaikan barang) dan Murtahin (yang menahan barang gadai). Obyeknya ialah Marhun (barang gadai) dan Utang yang diterima Rahin.
Mekanisme perjanjian gadai atau Rahn ini dapat dirumuskan apabila telah diketahui, beberapa hal yang terkait di antaranya:
1. Syarat Rahin dan Murtahin.
2. Syarat Marhun dan utang.
3. Kedudukan Marhun.
4. Risiko atas kerusakan Marhun.
5. Pemindahan milik Marhun.
6. Perlakukan bunga dan riba dalam perjanjian gadai.
7. Pemungutan hasil Marhun.
8. Biaya pemeliharaan Marhun.
9. Pembayaran utang dari Marhun.
10. Hak Murtahun atas harta peninggalan.
Prospek Pegadaian Syari’ah (Rahn).
1. Kekuatan Pegadaian, Syari’ah bersumber dari:
a. Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk.
b. Dukungan lembaga keuangan Islam di seluruh dunia.
c. Pemberian pinjaman lunak Al-Qardul Hasan dan pinjaman Mudharabah dengan sistem bagi hasil pada pegadaian Syari’ah sangat sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
2. Kelemahan Pegadaian Syari’ah:
a. Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil adalah jujur. Namun hal ini dapat menjadi bumerang.
b. Memerlukan metode penghitungan yang rumit terutama dalam menghitung biaya yang dibolehkan dan pembagian nasabah untuk nasabah-nasabah yang kecil.
c. Karena menggunakan konsep bagi hasil, pegadaian Syari’ah lebih banyak memerlukan tenaga-tenaga profesional yang handal.
d. Perlu adanya perngakat peraturan pelaksanaan untuk pembinaan dan pengawasannya.
3. Peluang Pegadaian Syari’ah.
a. Munculnya berbagai lembaga bisnis Syari’ah (lembaga keuangan Syari’ah)
b. Adanya peluang ekonomi bagi berkembangnya Pegadaian Syari’ah.
4. Ancaman Pegadaian Syari’ah.
a. Dianggap adanya fanatisme agama.
b. Susah untuk menghilangkan mekanisme bunga yang sudah mengakar dan menguntungkan bagi sebagian kecil golongan.
Pegadaian Dalam Perspektif Islam.
Islam mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk hidup saling tolong-menolong dengan berdasarkan pada rasa tenggung jawab bersama, jamin-menjamin, dan tanggung-menanggung dalam hidup bermasyarakat. Begitu juga halnya dalam memberikan pinjaman uang kepada orang lain yang amat membutuhkan, tetapi dengan dibebani kewajiban tambahan dalam membayarkannya kembali sebagai imbalan jangka waktu yang telah diberikan memberatkan pihak peminjam.
Tinjauan Umum Pegadaian dalam Perspektif Islam.
1. Pengertian Gadai : Perjanjian Gadai dalam Islam disebut Rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata Rahn menurut bahasa berarti “Tetap”, “Berlangsung” dan “Menahan”. Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi Rahn adalah: “Akad/perjanjian utang piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya.
2. Dasar Hukum Gadai : Gadai hukumnya Jaiz (boleh) menurut Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma’ (Sabiq, 1996:139).
a. Dalil dari Al-Qur’an : Surat Al-Baqarah ayat 283 : Artinya, “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermualah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis , maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utang) dan hendaklah ia bertaqwa pada Allah Tuhannya. (Q.S Al-Baqarah : 283).
b. Dalil dari As-Sunnah : Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk ditukar dengan gandum. Lalu orang Yahudi berkakata: “Sungguh Muhammad ingin membawa lari hartaku”. Rasulullah kemudian menjawab: “Bohong! Sesungguhnya aku orang yang jujur di atas bumi ini dan di langit. Jika kamu berikan amanat kepadaku pasti aku tunaikan. Pergilah kalian dengan baju besiku menemuinya”. (HR. Bukahri).
c. Ijma’ Ulama : Pada dasarnya para ulama telah bersepakat bahwa Gadai itu boleh. Para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa gadai disyari’atkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.
3. Rukun dan Syarat Sah Gadai.
a. Rukun Gadai : Rukun gadai meliputi orang yang menggadaikan (Rahin), barang yang digadaikan (Marhun), orang yang menerima gadai (Murtahin), sesuatu yang karenanya diadakan Gadai, yakni harga, dan sifat akad Gadai (Rusyd, 1995:351).
b. Syarat Sah gadai : Disyaratkan untuk sahnya akad Gadai sebagai berikut: berakal, baligh (dewasa), wujudnya Marhun, Marhun dipegang oleh Murtahin.
4. Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai.
Dalam perjanjian Gadai yang pada dasarnya adalah perjanjian utang piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba terjadi apabila dalam perjanjian Gadai diharuskan memberi tambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh Murtahin.
5. Berakhirnya Hak Gadai.
Menurut Sayyid Sabiq (1996), hak gadai akan berakhir jika:
a. Rahin (yang menggadaikan barang) telah melunasi semua kewajibannya kepada Murtahin (yang menerima gadai).
b. Rukun dan syarat Gadai tidak terpenuhi.
c. Baik Rahin maupun Murtahin atau salah satunya ingkar dari ketentuan syara’ dan akad yang telah disepakati oleh keduanya.
Islam mengajarkan pada umatnya untuk menjungjung tinggi nilai-nilai kemaslatan, karena dengan begitu umat manusia akan terhindar dari kezaliman dan praktik ketidakadilan. Maka berikut suatu alternatif mekanisme pembentukan laba gadai yang sesuai dengan prinsip syari’ah dapat dibentuk secara:
a. Akad Rahn.
b. Akad Bai’ Al-Muqayadah.
c. Akad Al-Mudharabah.
d. Akad Al-Qardhul Hasan.
Kepustakaan
Basyir, Ahmad Azhar. 1983. Hukum Islam Tentang Riba, Utang-Piutang Gadai. Bandung: Al-Ma’arif.
Yusuf, Muhammad. 2000. “Pegadaian Konvensional Dalam Perspektif Hukum Islam”. Skripsi. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah.
0 comments:
Post a Comment