JAKARTA--MICOM: Pragmatisme politik telah memandulkan kelahiran tokoh baru bagi bangsa. Indonesia mengalami kegagalan untuk mencari negarawan pemimpin bangsa.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif mengungkapkan realitas politik saat ini berada pada titik mengkhawatirkan. Politisi menampilkan praktek politik yang kehilangan moral. Mereka mengesampingkan etika politik dan tenggelam dalam pragmatisme.
"Ini konyol. Kok bisa-bisanya mereka berbuat seperti ini," ujarnya usai menjadi keynote speaker dalam Seminar mengenang Abdur Rahman Baswedan di Kampus Atmajaya, Jakarta, Kamis (14/4).
Kepentingan politik ini justru semakin mengemuka ketika menduduki sebagai pejabat negara. Menurutnya politisi harus mengedepankan moral, baik ketika mereka menjabat sebagai pejabat negara maupun dalam berpolitik.
Ia mengaku merasa miris membandingkan perilaku ini dengan tokoh anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Abdur Rahman Baswedan. Menurutnya kesederhanaan AR Baswedan sungguh luar biasa.
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara A Setyo Wibowo menyebut kehadiran AR Baswedan sebagai suatu mutiara sejarah. AR Baswedan tumbuh di tengah terpuruknya kondisi Hindia Belanda.
Sebagai keturunan Arab di Indonesia ia mampu tampil sebagai pemersatu bangsa. Bahkan mengorbankan diri untuk menjadi seorang nasionalis di tengah keturunan Arab.
"Ia mampu menampilkan nasionalisme di tengah habitat yang tak terkena dampak populernya nasionalisme jaman pergerakan," jelasnya.
Ia tampil pertama dalam kancah nasionalisme melalui Harian Matahari Semarang memuat tulisannya mengenai orang Arab pada tahun 1934. AR Baswedan memamerkan fotonya dengan mengenakan blangkon. Foto inilah yang memicu kemarahan orang Arab.
Ia mengimbau orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Menurutnya tanah kelahiran merupakan tanah air.
AR Baswedan lalu mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI) dan meninggalkan Harian Matahari Semarang walaupun memiliki gaji besar.
Langkah yang sama ia ulangi ketika mengorbankan profesinya demi ide nasionalisme. Pengorbanan ini ia tunjukkan dengan rela keluar dari Harian Sin Tit Po karena diminta melunakkan artikel-artikel kerasnya.
Ia menggunakan nama samaran Abun Awas untuk mengisi halaman pojok harian Sin Tit Po. Ia meninggalkan Sin Tit Po dan bergabung dengan harian Soeara Oemoem yang bergaji lebih rendah.
Pendiri Center for Strategic and International Studies (CSIS) Harry Tjan Silalahi mengungkapkan keberanian dan kesederhanaan inilah yang melepaskan belenggu eksklusifisme orang Arab di Indonesia. Ia menyebut AR Baswedan mampu melompati dua tembok penghalang nasionalisme dengan kesederhanaanya.
"Ia mau bergaul dengan orang Tionghoa dan mau menjadi orang Indonesia," ungkapnya.
Sahabat AR Baswedan, Djohan Effendi mengungkapkan jiwa pengetahuan dan idealisme AR Baswedan selalu hidup. Menurutnya AR Baswedan selalu bergaul dengan anak-anak muda untuk terus menggelorakan pemikiran.
"Bahkan ida mau menajdi anggota HMI sekedar untuk mengikuti seluruh diskusi yang diadakan oraganisasi organisasi mahasiswa ini," tandasnya.
Namun kini sungguh sulit mencari tokoh yang bersikap seperti AR Baswedan ini. Walaupun telah menjabat sebagai pejabat negara di titik-titik sejarah. Ia terus berhubungan terbuka dengan seluruh lapisan masyarakat, bahkan kepada orang-orang yang berseberangan politik sekalipun.
0 comments:
Post a Comment