Maksud dari “amar ma’ruf” adalah ’seluruh ketaatan; dan yang paling utama adalah ibadah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, mengikhlaskan ibadah bagi-Nya semata, serta meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kemudian, (tingkatan) di bawahnya adalah segenap ketaatan, berupa perkara-perkara yang wajib dan mustahab‘. (Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hlm. 6, karya Syekh Al-’Allamah Shalih Al-Fauzan)
Sementara itu, “mungkar” adalah ’setiap perkara yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya’. Dengan begitu, seluruh kemaksiatan dan kebid’ahaan adalah perkara mungkar, dan kemungkaran yang paling besar adalah menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala. (Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hlm. 6–7, karya Syekh Al-’Allamah Shalih Al-Fauzan)
Mengajak kepada perkara yang ma’ruf dan mencegah dari perkara yang mungkar, hukumnya adalah fardu kifayah atas umat ini, bukan wajib ain. Jika amar ma’ruf nahi mungkar telah ditegakkan oleh sebagian orang yang mencukupi, gugurlah dosa (jika tidak ada yang menunaikannya, red.) atas yang lainnya. Akan tetapi, jika tidak ada satu pun yang melaksanakannya maka seluruhnya (kaum muslimin, red.) berdosa. (Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hlm. 14 dan setelahnya, karya Syekh Al-’Allamah Shalih Al-Fauzan)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hendaklah ada, di antara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada perbuatan yang ma’ruf, dan mencegah dari kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran:104)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barang siapa yang memerintahkan hal yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran maka hendaknya dia memiliki ilmu tentang hal yang dia perintahkan dan hal yang dia larang, serta bersikap lembut dan santun ketika memerintah dan melarang. Hendaknya, ilmu didahulukan sebelum memerintah, sedangkan sikap lembut dan santun harus selalu menyertai perintah. Jika tidak berilmu maka dia tidak boleh mengerjakan segala sesuatu yang ilmu tentangnya tidaklah dia miliki.”
Apabila ia berilmu tetapi tidak memiliki kelembutan maka dia ibarat dokter yang tidak memilki kelembutan, kasar terhadap pasiennya, maka niscaya ia tidak akan diterima, serta ibarat pendidik yang kasar dan tidak disukai oleh anak didiknya.
Sungguh, Allah telah berkata kepada Musa dan Harun ‘alaihimassalam (yang artinya), “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut.Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha:4)
Kemudian, orang yang memerintahkan perkara yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, biasanya, disakiti. Oleh karena itulah, wajib baginya untuk bersabar dan santun. Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “… Dan suruhlah (manusia) mengerjakanperbuatan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan kemungkaran, serta bersabarlah terhadap segala sesuatu yang menimpamu. Sesungguhnya, yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman:17)
Beliau (Ibnu Taimiyah) menambahkan, “Wajib bagi orang, yang memerintahkanperkara yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran, untuk melakukannya dengan ikhlas karena Allah, dengan maksud taat kepada Allah. Hendaknya pula, tujuannya adalah untuk memperbaiki orang yang diperintah, menegakkan hujjah (alasan,red.) kepadanya, dan jangan bertujuan untuk mencari kedudukan, baik untuk dirinya maupun untuk kelompoknya, atau untuk melecehkan orang lain.
Pondasi agama adalah mencintai karena Allah, benci karena Allah, bersikap loyal karena Allah, bermusuhan karena Alllah, beribadah hanya karena Allah, meminta pertolongan hanya kepada Allah, takut hanya kepada Allah, berharap hanya dari Allah, memberi hanya karena Allah, dan mencegah pun hanya karena Allah. Itu semua diperoleh, tidak lain, hanya dengan cara mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang perintahnya adalah perintah Allah dan larangannya adalah larangan Allah, memusuhinya berarti memusuhi Allah, taat kepadanya adalah bentuk ketaatan kepada Allah, dan bermaksiat kepadanya berarti bermaksiat kepada Allah.” (Diringkas dari perkataan Ibnu Taimiyahrahimahullah)
–
Disalin ulang dari buku Jadilah Salafi Sejati (terjemahan dari kitab Kun Salafiyyahn ‘alal Jaddah, karya Syekh Dr. Abdussalam bin Salim As-Suhaimi), hlm. 108–111, terbitan Pustaka At-Tazkia. Dengan penyuntingan bahasa oleh redaksi www.muslimah.or.id.
0 comments:
Post a Comment