Oleh: Dwiyan ‘Ibnu Tiangfei’ Adi
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Artinya: Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”. (QS. Al-Baqarah: 10).
“Artinya: Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat”. (QS. Al-Hajj: 53).
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah di dalam bukunya ‘Jangan Biarkan Penyakit Hati Bersemi’, penyakit hati dikarenakan terjadinya kerusakan terutama pada persepsi dan keinginan. Orang-orang yang hatinya sakit akan tergambar kepadanya hal-hal berbau syubhat. Akibatnya ia tidak dapat melihat kebenaran atau melihat sesuatu tidak sebagaimana adanya. Pada sisi yang lain, keinginannya membenci kebenaran yang bermanfaat dan menyukai kebatilan yang berbahaya.
Selain syubhat, orang-orang yang hatinya sakit juga akan tergambar keinginannya kepada hal-hal berbau syahwat atau keinginan untuk berzina (na’udzubillah).
Penyakit hati adalah rasa sakit yang menimpa hati, seperti rasa sakit ketika musuh menguasai anda. Sesungguhnya yang demikian itu dapat mendatangkan rasa panas atau menyayat hati.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Artinya: Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan panas hati orang-orang mukmin. dan Allah menerima taubat orang yang dikehendakiNya. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah: 14-15).
Berdasarkan ayat di atas maka sembuhnya hati bagi orang-orang yang beriman adalah ditandai dengan hilangnya rasa panas di hati mereka. Dalam hukum qishas juga dikatakan tentang hilangnya rasa dendam dari keluarga orang-orang yang terbunuh. Jadi, kesembuhan hati juga ditandai dengan hilangnya rasa kebencian, amarah, kesedihan dan lain sebagainya. Termasuk pula keragu-raguan dan kebodohan. Semua ini tergolong penyakit yang menyerang jiwa.
Sesungguhnya setiap bentuk perbuatan maksiat adalah racun bagi hati dan menjadi sebab munculnya berbagai penyakit hati. Sedangkan racun penyebab penyakit hati di antaranya ada empat macam, yaitu:
1. Fudhulul Kalam (berlebih-lebihan dalam berbicara).
Pada dasarnya hukum berbicara di dalam pandangan islam adalah mubah (boleh). Namun, dengan catatan masih berada di dalam ketentuan batas-batas syariah. Jika keluar dari batas-batas tersebut maka hukumnya tidak lagi mubah melainkan haram.
Rasulullah Muhammad Saw bersabda,
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau lebih baik diam”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits lain Rasulullah Muhammad Saw bersabda,
“Barang siapa menjamin bagiku apa yang ada di antara kedua janggutnya dan apa yang ada di antara kedua pahanya maka aku menjamin baginya Surga”. (HR. Bukhari).
Berdasarkan kedua hadits di atas, maka islam sangat menganjurkan kepada setiap umat muslim untuk menjauhkan diri dari segala perkataan yang tidak baik dan tidak bermanfaat. Terlebih jika perkataan-perkataan tersebut mengandung unsur-unsur fitnah dan ghibah (na’udzubillah) yang merusak keimanan di hati.
2. Fudhulun Nadhor (berlebih-lebihan dalam memandang).
Di dalam islam terdapat perintah untuk menahan pandangan mata, terutama pandangan-pandangan yang mampu membangkitkan syahwat. Di sini seorang muslim harus mampu menjaga pandangan matanya, agar tidak terjerumus di dalam lembah kemaksiatan.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nuur: 30-31).
3. Fudhulut Tha’am (berlebih-lebihan dalam makan).
Makan dan minum merupakan kebutuhan fitrah bagi setiap makhluk hidup, sehingga islam tidak melarang tentang hal tersebut. Namun jika makan dan minum secara berlebihan, sehingga menyebabkan berbagai penyakit fisik seperti sakit perut, obesitas dan sebagainya, maka hal tersebut tidak diperbolehkan di dalam islam. Karena kecenderungan makan dan minum secara berlebihan akan menyebabkan hati tidur dan malas dalam beribadah.
4. Fudhulun Mukhalathah (berlebih-lebihan dalam bergaul/berinteraksi dengan orang lain).
Berinteraksi dengan orang lain merupakan kebutuhan fitrah bagi manusia sebagai makhluk sosial, sehingga islam tidak melarang hal tersebut. Namun syariah mengatur tentang batas-batas dan adab-adabnya, seperti tidak boleh melakukan khalwat (bersepian dengan lawan jenis tanpa mahram), tidak menggunjing (ghibah), tidak berlebihan dalam tawa dan canda, tidak melalaikan kewajiban-kewajiban ibadah dan lain sebagainya.
(Sebagian isi dikutip dari buletin Risalah Jum’at edisi 19/XX).
0 comments:
Post a Comment