[1]
Kepada Hera
Kepada Hera
I
sebagai yang terlupakan, aku
tak gegabah berandaiandai
tak gegabah berandaiandai
jika rembulan akan gerhana
maka pekat hanya ilusi sementara
maka pekat hanya ilusi sementara
aku tak mendahului sesal, Hera
di masa perpisahan penuh isak
di masa perpisahan penuh isak
memahami bahwa fajar akan kembali
songsong rapuh jiwaku
songsong rapuh jiwaku
aku sampirkan pelangi di dada
agar sekiranya saat kau hadir dalam dekap
agar sekiranya saat kau hadir dalam dekap
kau akan sumringah jua
penuh bahana tawa, membuat langit malu
penuh bahana tawa, membuat langit malu
cermati sebuah ikhwal kematian hati
tersebab praduga sesat yang tersemat
tersebab praduga sesat yang tersemat
II
sebagai yang terbiarkan, aku
tak cemas meliarkan anganangan
tak cemas meliarkan anganangan
andai matahari pindah terbit di barat
terang masih akan menjalar lembut
terang masih akan menjalar lembut
aku masih biaskan kepastian, Hera
di keadaan yang tak lagi sama
di keadaan yang tak lagi sama
kiamat merapat, malam berkeping jua
hancur oleh derai tangis yang miris
hancur oleh derai tangis yang miris
lalu aku harus ke mana?
perulangan arah tetaplah terpekik namamu
perulangan arah tetaplah terpekik namamu
III
sebagai yang terlupakan
sebagai yang terbiarkan
sebagai yang terbiarkan
aku berusaha biasabiasa saja, Hera
menjadi utuh diri yang tak dilaknat waktu
menjadi utuh diri yang tak dilaknat waktu
menjelma apapun di musim baru
aku hanyalah pengelana rindu
aku hanyalah pengelana rindu
di bayang wajahmu
aku luruh, mengeja semua ketidaksempurnaan
aku luruh, mengeja semua ketidaksempurnaan
Manado, 07072011.
[2]
Tentang Menjadi yang Terindah
: Hera
Tentang Menjadi yang Terindah
: Hera
Sudah kutanak kenangan, Hera. Sungguh matang hingga betapa
senangnya masa jatuh bergulir. Tak perlu berletih menelesuri
lembah keraguan. Lorong kita, Pando, masih sudi ditaburkan
riwayat dua hati. Pada coklat tanahnya, pada kusam sekatnya,
abjadabjad asmara menjelma keinginan baru. Dan para pemukim
berlalu serayamelepaskan haru tuk ditukar dengan asaasa sukacita.
senangnya masa jatuh bergulir. Tak perlu berletih menelesuri
lembah keraguan. Lorong kita, Pando, masih sudi ditaburkan
riwayat dua hati. Pada coklat tanahnya, pada kusam sekatnya,
abjadabjad asmara menjelma keinginan baru. Dan para pemukim
berlalu serayamelepaskan haru tuk ditukar dengan asaasa sukacita.
Aku pun masih bagian dari lorong ini, Hera. Pemukim yang
acapkali
merunut kegagalan mimpi jelma nyata di langkah esok. Jika kau
terbiasa mengecap rasa rindu dari pelepah malam, maka adalah aku
yang terdera belenggu siang. Kujelang cahaya dengan sekawanan
awan hitam bergelayutan di wajah. Ternyata aku tak terbiasa.
Menggauli perpisahan dalam puisipuisi serba temaram.
merunut kegagalan mimpi jelma nyata di langkah esok. Jika kau
terbiasa mengecap rasa rindu dari pelepah malam, maka adalah aku
yang terdera belenggu siang. Kujelang cahaya dengan sekawanan
awan hitam bergelayutan di wajah. Ternyata aku tak terbiasa.
Menggauli perpisahan dalam puisipuisi serba temaram.
Bila kau harus kembali, Hera. Sudilah membungkus maaf sebagai
buah tangan. Kenangan yang kutanak ini, dalam kematangannya tak
cukup digjaya buatku menjadi yang terindah. Apa yang akan kauaku
rayakan di perjumpaan, tak akan lebih dari upaya menggelar kembali
permadani perbedaan. Wewarna serupa pelangi, namun terbias hanyalah
elegi. Elegi dan tetap elegi kita terima dalam dua belas tahun yang
hilang. Di dinding masa depanmu, aku adalah arsiranarsiran garis nasib
terputus dari lingkaran waktu. Lingkaran yang merunut jejak asmara
berbayang lara.
buah tangan. Kenangan yang kutanak ini, dalam kematangannya tak
cukup digjaya buatku menjadi yang terindah. Apa yang akan kauaku
rayakan di perjumpaan, tak akan lebih dari upaya menggelar kembali
permadani perbedaan. Wewarna serupa pelangi, namun terbias hanyalah
elegi. Elegi dan tetap elegi kita terima dalam dua belas tahun yang
hilang. Di dinding masa depanmu, aku adalah arsiranarsiran garis nasib
terputus dari lingkaran waktu. Lingkaran yang merunut jejak asmara
berbayang lara.
Tapi aku masih saja terus bermimpi, Hera. Mimpi tentang menjadi
yang terindah dalam sisasisa napas penantian. Paruparuku tak sudi
berpurapura disinggahi udara kecemasan. Dari apa yang coba kuuraikan,
adalah sederetan doa jua yang kuberaikan dari katakata tiada bermakna.
Pada tanggatangga langit, aksaraaksara doaku akan meniti pasti sebuah
keyakinan. Di dirimu jua, Hera, aku akan menghilang dari perangkap sepi.
Di dirimu jua, aku akan selalu menjadi seseorang yang punya arti.
yang terindah dalam sisasisa napas penantian. Paruparuku tak sudi
berpurapura disinggahi udara kecemasan. Dari apa yang coba kuuraikan,
adalah sederetan doa jua yang kuberaikan dari katakata tiada bermakna.
Pada tanggatangga langit, aksaraaksara doaku akan meniti pasti sebuah
keyakinan. Di dirimu jua, Hera, aku akan menghilang dari perangkap sepi.
Di dirimu jua, aku akan selalu menjadi seseorang yang punya arti.
Manado, 21072011.
[3]
Hera dan Sebuah Nyanyian yang Penuh Petuah
Hera dan Sebuah Nyanyian yang Penuh Petuah
“Cintakan membawamu kembali di sini
Menuai rindu membasuh perih*”
Menuai rindu membasuh perih*”
Sejatinya telah tepat kau jumlahkan bilangan kehilangan
Setelah semua angan silam sua tempat pemberhentian
Setelah semua angan silam sua tempat pemberhentian
Dan lengkingan nada-nada selaras dengan petikan harpa sang cupid
Ada cinta, ada kasih, ada rindu yang saling mengapit
Ada cinta, ada kasih, ada rindu yang saling mengapit
Sungguh aku lelah melaknati gamang
Telah kupahami setitik cahaya di antara remang
Telah kupahami setitik cahaya di antara remang
Dari bening dua bola matamu, malam hanya sekedar nama kelam
Tak pernah serius hadir membiasi kisah-kisah temaram
Tak pernah serius hadir membiasi kisah-kisah temaram
“bawa serta dirimu, dirimu yang dulu
mencintaiku apa adanya**”
mencintaiku apa adanya**”
Lalu apa nama paling indah untuk esok?
Selain bahagia yang tak sudi lagi berbelok
Selain bahagia yang tak sudi lagi berbelok
Kita akan biarkan saja seperti ini
Seperti ikhlasnya fajar yang datang kelewat dini
Seperti ikhlasnya fajar yang datang kelewat dini
Akan kita haturkan senyum ke timur
Terus ke timur yang juga ikhlas memanjangkan umur
Terus ke timur yang juga ikhlas memanjangkan umur
Hera, nyanyikanlah terus nyanyikanlah
Hingga penantian berpantang mengenal kalah
Hingga penantian berpantang mengenal kalah
Manado, 02012012.
*&** : lirik lagu “Cintakan Membawamu Kembali”-Dewa 19-
[4]
Nocturne yang Terlupakan
Nocturne yang Terlupakan
: Hera
I1I
Sudah kau tinggalkan cemas
Sudah aku tanggalkan ragu
Sudah aku tanggalkan ragu
Lalu, kepergianmu kusederhanakan sebagai penambahan jarak rindu
di hatiku. Waktu menjadi kelipatan kenangan yang terus berkuadrat, terus
berkubik dengan hasil nominal-nominal keyakinan. Dan kupandang sendiriku hanya
sebagai titipan koma yang sedang mengipasi kemarau sebelum hujan tiba
mengubahnya menjadi titik.
Kebenaran sunyi masih menjadi misteri tak terpecahkan. Masih
tentang kauaku yang terus merekam begitu banyak jejak terselip di antara rimbun
pekat malam. Hidup dan asmara menjadi dua hal yang paling kita minati. Menjadi
dua hal yang paling kita kilaukan di sepanjang pesisir cahaya hati.
I2I
Sudah kau ceraikan masa lalu
Sudah aku beraikan kenangan
Sudah aku beraikan kenangan
Pun, bila kini kuterima jua kabar sendirimu, sendiri yang lebih
perih dari gersang pematang, kau harus tahu, aku kalangkabut menyibak
lebatkabut di antara pelarianku. Pelarian menujumu yang terus saja mengubah
nama arah. Kucoba pelihara angan tanpa pertanyaan, kuterus manjakan ingin tanpa
mencari tahu jawaban. Hati terus berpalung sedalam mungkin bagi niscayanya
sebuah pelukan sehangat mentari pagi.
Kekekalan sepi akan jadi tuturan turun temurun. Tetap ini
tentang kauaku yang pernah mengultuskan janji-bila di antara bayang-bayang yang
dihilangkan terik-, kauaku tetap tak akan bergeming. Maut dan rindu sebenarnya
punya ikatan yang harus kita sepakati bersama. Di tubir kekecewaan, rindu
seketika menjadi hitam sebenarbenarnya.
I3I
Sudah kau ikhlaskan kehilangan
Sudah aku relakan kehampaan
Sudah aku relakan kehampaan
Hanya terus dan terus saja aku berdiri. Entah apa nama daratan
ini. Pijakan yang meneruskan guliran airmata. Membeku dan meruah ke segala
penjuru sebagai bola-bola kesedihan. Mencari dan terus mencari lubang-lubang
keriangan. Sendiri ini, sunyi sepi ini terlalu cadas merampas musim-musim yang
mukim di senyumku. Dan kau terus berkewajiban tahu, adalah ketulusan yang setia
kupelihara dalam penantian. Andai kau batalkan kepulangan, aku masih bisa
mempuisikan embun, menghadirkannya di kering kelopak-kelopak jiwaku.
Apa yang akan mengabadi di batas waktu selain hening yang kian
bening di lembaran hariku ? Senantiasa ini masih menjadi kisah kauaku yang
bertukar tawa di antara isak pedih perpisahan. Hidup mati, rindu asmara
sesungguhnya lingkaran yang kita arsir bersama. Dari dua tempat berbeda, kita
tiada berletih mengirimkan pesan, doa dan harapan meski kesemuanya kandas jua
usai malam direnggut pagi.
Gorontalo, 03102011.
Arther Panther Olii, lahir di Manado. Menyukai dunia
tulis-menulis. Karya-karyanya berupa puisi dan cerpen termuat di berbagai
harian di Manado. Pernah 2 tahun 3 bulan bekerja dan tinggal di gorontalo.
Bergiat di Komunitas Bibir Pena Manado, Komunitas Tanpa Nama Gorontalo dan
Redaktur Jurnal Kebudayaan Tanggomo. Puisinya ikut dalam Antologi Tarian
Ilalang, 2010. Antologi Hafsa Publisher, Puisi Kasih, 2010, Antologi Indonesia
Berkaca, 2011, Antologi Sepuluh Kelok di Mouseland, 2011 dan Bunga Rampai
Cerpen dan Puisi Tuah Tara No Ate TSI ke-4, Ternate 2011. Saat ini masih setia
melajang dan menekuni dunia usaha kecil-kecilan di Manado sembari terus belajar
menulis puisi dan cerpen.
0 comments:
Post a Comment