Enam tahun berlalu sejak Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya hijrah dari Makkah ke Madinah. Selama itu mereka terus-menerus bekerja keras, terus-menerus dihadapkan pada peperangan. Kadang dengan pihak Quraisy, adakalanya pula dengan pihak Yahudi. Sementara itu, Islam pun makin tersebar luas, makin kuat dan kokoh.
Sejak tahun pertama Hijrah, Rasulullah sudah mengubah arah kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram. Kini kaum Muslimin menghadap ke Baitullah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim di Makkah, yang kemudian diperbaharui lagi tatkala Rasulullah masih muda belia. Waktu itu, beliau juga turut mengangkat batu hitam (Hajar Aswad) ke tempatnya di ujung dinding bangunan tersebut.
Sejak ratusan tahun yang lalu, Masjidil Haram (Masjid Suci) telah menjadi tujuan orang-orang Arab dalam melakukan ibadat. Dalam bulan-bulan suci setiap tahun, mereka datang ke tempat itu. Setiap orang yang datang keamanannya terjamin. Apabila orang bertemu dengan musuh yang paling keras sekalipun, di tempat ini ia tak dapat menghunus pedang atau mengadakan pertumpahan darah. Akan tetapi sejak Rasulullah dan kaum Muslimin hijrah, pihak Quraisy telah mengambil tanggung jawab dengan melarang mereka memasuki Masjidil Haram.
Terkait hal ini, turun firman Allah pada tahun pertama Hijrah: "Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah." (QS Al-Baqarah: 217)
Selama enam tahun itu banyak sekali ayat-ayat turun berturut-turut mengenai Masjid Suci itu yang oleh Allah dijadikan tempat manusia berkumpul dan tempat yang aman. Namun pihak Quraisy menganggap Rasulullah dan pengikut-pengikutnya telah mengingkari berhala-berhala yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, memerangi dan melarang mereka datang berkunjung ke Ka'bah adalah suatu kewajiban bagi Quraisy, kalau mereka tidak mau kembali kepada dewa-dewa nenek-moyangnya.
Sementara itu kaum Muslimin merasa menderita karena tak dapat melakukan tugas agama yang sudah menjadi kewajiban mereka, juga sudah menjadi kewajiban nenek-moyang mereka dahulu. Disamping itu, kaum Muhajirin sendiri pun sudah merasa tersiksa dan merasa tertekan—tersiksa dalam pembuangan, tertekan karena kehilangan tanah air dan keluarga. Hanya saja, mereka semua yakin akan adanya pertolongan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada mereka.
Dengan melarang mengadakan ziarah ke Makkah serta menunaikan kewajiban berhaji dan menjalankan umrah, sebenarnya orang-orang Quraisy sudah melakukan kekejaman terhadap Rasulullah dan para sahabat. Rumah Purba (Ka'bah) ini bukanlah milik Quraisy, melainkan milik semua orang Arab. Hanya saja orang-orang Quraisy itu berkewajiban menjaga Ka'bah dan mengurus air buat para pengunjung, yakni yang meliputi segala macam kepengurusan Rumah Suci dan pemeliharaan pengunjung-pengunjungnya. Penyembahan berhala oleh suatu kabilah tidaklah berarti membenarkan tindakan Quraisy melarang orang berziarah dan berthawaf di Ka'bah serta melakukan segala upacara peribadatan.
Rasulullah SAW datang mengajak orang menjauhi penyembahan berhala dan membersihkan diri dari segala noda paganisme dan kemusyrikan. Beliau mengajak orang ke tingkat jiwa yang lebih tinggi, yakni menyembah hanya kepada Allah SWT. Oleh karena menjalankan ibadah haji dan umrah itu merupakan salah satu kewajiban agama, maka melarang penganut-penganut agama baru ini melakukan kewajiban agamanya berarti suatu tindakan permusuhan.
Jika Rasulullah kemudian datang juga disertai orang-orang yang sudah beriman kepada Allah dan kepada ajarannya—yang sebenarnya mereka adalah penduduk asli Makkah—orang-orang Quraisy khawatir rakyat jelata di Makkah akan menggabungkan diri. Dengan demikian, ini merupakan benih yang dapat mencetuskan perang saudara.
Disamping itu pemimpin-pemimpin Quraisy dan pemuka-pemuka Makkah tidak pernah melupakan Nabi SAW dan pengikutnya yang telah menghancurkan perdagangan mereka, merintangi jalan mereka menuju Syam. Oleh sebab itu, dalam jiwa mereka sudah tertanam benih dendam dan permusuhan. Padahal telah diketahui, bahwa Rumah Purba itu kepunyaan Allah dan kepunyaan seluruh masyarakat Arab. Dan bahwa kewajiban mereka hanyalah menjaganya dan memelihara orang-orang yang sedang berziarah.
Kaum Muslimin sudah gelisah sekali karena rindu ingin berziarah ke Ka'bah dan ingin menunaikan ibadah haji dan umrah. Pada suatu pagi, ketika mereka sedang berkumpul di masjid,tiba-tiba Nabi memberitahukan bahwa beliau telah mendapat ilham dalam mimpi hakiki, insya Allah mereka akan memasuki Masjid Suci dengan aman tenteram, dengan kepala dicukur atau digunting tanpa merasa takut.
Rasulullah kemudian mengumumkan kepada khalayak ramai agar berangkat menunaikan ibadah haji pada bulan Dzulhijjah yang suci. Dikirimnya utusan-utusan kepada kabilah-kabilah yang bukan dari pihak Muslimin, dianjurkannya mereka supaya ikut bersama-sama pergi berangkat ke Baitullah, dengan aman tanpa ada pertempuran. Rasulullah juga sangat berharap agar kaum Muslimin dapat berangkat sebanyak mungkin.
Maksud baik Nabi SAW adalah agar semua orang Arab mengetahui bahwa kepergiannya dalam bulan suci itu hendak menunaikan ibadah haji, bukan untuk berperang. Beliau hanya ingin melaksanakan salah satu kewajiban dalam agama Islam, yang juga diwajibkan di agama-agama orang Arab sebelum itu.
Untuk itu beliau mengajak orang-orang Arab yang tidak seagama agar juga turut melakukan kewajiban tersebut. Dengan demikian, kalaupun pihak Quraisy masih juga bersikeras hendak memeranginya dalam bulan suci, hendak melarang orang Arab untuk beribadah, maka takkan ada orang-orang Arab yang mau mendukung sikap tersebut.
Rasulullah mengumumkan kepada semua orang supaya berangkat menunaikan ibadah haji. Kabilah-kabilah di luar Muslimin juga dimintanya berangkat bersama-sama. Tetapi banyak juga dari mereka yang masih menunda-nunda.
Pada bulan Dzulqa'dah beliau berangkat dengan rombongan dari kaum Muhajirin dan Anshar, serta beberapa kabilah Arab yang menggabungkan diri. Jumlah mereka yang berangkat ketika itu sebanyak 1.400 orang. Rasulullah membawa binatang kurban yang terdiri dari 70 ekor unta, dengan mengenakan pakaian ihram. Hal ini dimaksudkan agar orang mengetahui bahwa beliau datang bukan untuk berperang, melainkan khusus hendak berziarah dan mengagungkan Baitullah.
Ketika rombongan sudah sampai di Dzul Hulaifa, mereka menyiapkan kurban dan mengucapkan talbiyah. Binatang kurban itu dilepaskan dan di sebelah kanan masing-masing hewan itu diberi tanda, di antaranya terdapat unta Abu Jahal yang dirampas pada Perang Badar. Tak seorang pun dari rombongan haji itu yang membawa senjata selain pedang bersarung yang biasa dibawa orang dalam perjalanan. Istri Nabi yang ikut serta dalam perjalanan ini adalah Ummu Salamah.
0 comments:
Post a Comment