Oleh: Ali Akbar bin Agil
Di sebuah pertemuan, ada sebuah anekdot yang cukup terkenal sekaligus menjadi pertanyaan yang menggelitik rasa penasaran: Siapakah nama pahlawan Indonesia yang paling sering masuk ke masjid? Mendengar pertanyaan tersebut, banyak dari mereka menjawab bahwa para pahlawan itu adalah mereka yang terkenal semangat perjuangannya membela Tanah Air dengan jihad sebagai spiritnya.
Satu per satu mulai menjawab, “Pahlawan yang paling sering ke masjid pasti ya Pangeran Diponegoro. Beliau kan orang Islam pakek sorban lagi.” Ada yang menjawab, “Kalau enggak salah Insya Allah Imam Bonjol, beliau juga pakek sorban kok.” Ada yang memberi jawaban, “Kalau yang saya tahu sih, ya Bung Karno. Apalagi Bung Karno itu yang menggagas berdirinya Masjid Istiqlal, masjid paling gede se-Asean Tenggara.”
Jawaban-jawaban yang lain masih mengalir. Si penanya angkat suara. Katanya, “Pahlawan yang paling sering masuk ke masjid bukan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Bung Karno. Tapi pahlawan yang paling sering masuk ke masjid adalah Pattimura dan Pangeran Anatasari!”
Segera setelah mendengar nama Pattimura, mereka terbengong-bengong. “Apa g salah tu, masak sih pangeran Pattimura dan Antasari doang. Terus yang lain jarang ke masjid, gitu?!” tanya keherananan.
Si penanya menguraikan keterangan untuk memecah kebingungan kawan-kawannya. “Tahukah kalian gambar uang yang tercantum di tiap lembar uang kita, ada yang bergambar Bung Karno dengan nominal 100 ribu, I Gusti Ngurah Rai dengan nominal 50 ribu, Sultan Mahmud Adaruddin II dengan nominal 10 ribu, Pangeran Antasari dengan nominal 2 ribu, dan Pattimura dengan nominal seribu rupiah. Manakah dari nominal uang yang paling sering “berkunjung” ke masjid? Apakah uang bergambar Bung Karno atau Antasari? Apakah I Gusti Nugrah Rai atau Pattimura?”
Memang, terbukti beda “nasib” uang 100 ribu dan 2 ribu, meski sama-sama dicetak oleh Bank Indonesia. Pada suatu saat terjadilah “dialog” singkat yang bermula dari bertemunya uang kertas seribu (1000) dengan uang kertas seratus ribu (100.000), lalu bilang, “Hai, ke mana saja kamu? Aku jarang lihat kamu akhir-akhir ini.” Uang kertas seratus ribu menjawab, “Aku habis pergi ke supermarket, mall, bioskop dan hal-hal semacam itulah. Kalau kamu?” Uang kertas seribu bilang, “Tau sendirilah, seperti biasa, aku tergeletak di celengan masjid.”
Itulah kita selama ini. Sering kali kita “menganaktirikan pahlawan.” Untuk urusan kepuasan materi, uang 100 ribu boleh berbangga namun miskin manfaat dan hanya beredar di kalangan elite, di restaurant mahal, hotel berbintang. Sementara uang 1000 sering berada dalam keadaan kotor dan lusuh, beredar di tukang sayur, abang becak, ojek, pengamen, hingga pengemsi yang renta, celengan masjid, tapi ia kaya manfaat, banyak member kontribusi dan dampak dalam membangun semangat saling tolong menolong.
Dari kenyataan itu, pantaslah kita bertanya kepada diri sendiri, sejauh mana kepedulian kita terhadap sesama yang membutuhkan uluran tangan kita? Di pelbagai lokasi dengan mudah kita temukan saudara kita sendiri rela merogoh kocek dalam-dalam dari angka ratusan ribu hingga jutaan rupiah demi menonton penyelenggaraan sebuah konser grup musik papan atas, sementara di perbagai daerah banyak bayi-bayi terkena busung lapar, merengek-rengek iba, ibunya hanya bisa menangis tak punya biaya untuk membeli makanan dan susu layak gizi karena harga yang melambung tinggi.
Di manakah “pahlawan” Bung Karno kita selama ini ketika kita rela membelanjakannya di bioskop, pusat-pusat perbelanjaan, butik-butik high class, padahal sering kita dengar berita anak yang tewas gantung diri karena malu orangtuanya tak sangup membiayai sekolahnya. Orangtuanya yang bekerja sebagai buruh harian dan bahkan kerja apa saja, tak lagi sanggup berpikir bagaimana biaya sekolah anaknya, untuk berpikir makan apa hari ini saja masih menjadi kabut misteri baginya.
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam, “Ya Rasulullah, sedekah yang bagaimanakah yang paling besar pahalanya?” Rasul menjawab, “Bersedekah pada waktu sehat, pada saat tamak harta, di kala takut miskin, dan sedang berangan-angan menjadi orang yang kaya. Janganlah kamu memperlambatnya sehingga maut tiba, lalu kamu berkata, ‘Harta untul si Fulan sekian dan untuk si Fulan sekian, padahal harta itu telah menjadi milik si Fulan (ahli waris).’” (HR. Bukhari-Muslim).
Ramadhan adalah syahrul muwaasah (bulan solidaritas). Dalam bulan suci ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam menjadi sosok yang lebih dermawan disbanding bulan-bulan selainnya. Abdullah bin Abbas ra. berkata, “Nabi adalah manusia paling dermawan dan sifat dermawannya semakin bertambah pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari-Muslim).
Kedermawanan beliau mengilhami para sahabatnya. Dalam sebuah pertempuran, tepatnya perang Tabuk, kala itu persedian finansial menipis sementara kebutuhan cukup besar. Nabi melakukan mobilisasi dukungan material dan moral sekaligus. Datanglah Umar bin Khathab ra. dengan setengah hartanya. Nabi bertanya, “Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” Dijawab oleh Umar, “Sebanyak yang kuserahkan.”
Tidak lama berselang datanglah Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan membawa seluruh hartanya tanpa menyisakan sedikitpun untuk keluarganya. Tanya Nabi, “Wahai Abu Bakar, apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab dengan meyakinkan, “(Kutinggalkan untuk keluargaku) Allah dan Rasul-Nya.” Mendengar jawaban ini, Umar menyahut, “Aku tidak akan bisa mengalahkannya.”
Bukan pada banyaknya penghasilan yang kita peroleh tapi seberapa banyak manfaat yang berhasil kita tebarkan kepada orang lain. Bukan seberapa banyak harta yang kita miliki yang menjadi persoalan, namun sejauh mana manfaat yang terkandung di dalamnya. Ini yang jauh lebih penting.
Bagaimana? Siapakah pahlawan favorit Anda yang paling sering ke masjid, beredar pada anak-anak yatim, para fakir-miskin, anak-anak putus sekolah, janda-janda tua? Para salaf pernah ditanya, “Mengapa puasa itu disyariatkan atas diri kita?” Dijawab, “Supaya orang-orang kaya bisa merasakan rasa kelaparan sehingga tidak melupakan nasib orang-orang yang lapar.” Wallahu A`lam Bis Shawaab.*
Penulis adalah Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang
Di sebuah pertemuan, ada sebuah anekdot yang cukup terkenal sekaligus menjadi pertanyaan yang menggelitik rasa penasaran: Siapakah nama pahlawan Indonesia yang paling sering masuk ke masjid? Mendengar pertanyaan tersebut, banyak dari mereka menjawab bahwa para pahlawan itu adalah mereka yang terkenal semangat perjuangannya membela Tanah Air dengan jihad sebagai spiritnya.
Satu per satu mulai menjawab, “Pahlawan yang paling sering ke masjid pasti ya Pangeran Diponegoro. Beliau kan orang Islam pakek sorban lagi.” Ada yang menjawab, “Kalau enggak salah Insya Allah Imam Bonjol, beliau juga pakek sorban kok.” Ada yang memberi jawaban, “Kalau yang saya tahu sih, ya Bung Karno. Apalagi Bung Karno itu yang menggagas berdirinya Masjid Istiqlal, masjid paling gede se-Asean Tenggara.”
Jawaban-jawaban yang lain masih mengalir. Si penanya angkat suara. Katanya, “Pahlawan yang paling sering masuk ke masjid bukan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Bung Karno. Tapi pahlawan yang paling sering masuk ke masjid adalah Pattimura dan Pangeran Anatasari!”
Segera setelah mendengar nama Pattimura, mereka terbengong-bengong. “Apa g salah tu, masak sih pangeran Pattimura dan Antasari doang. Terus yang lain jarang ke masjid, gitu?!” tanya keherananan.
Si penanya menguraikan keterangan untuk memecah kebingungan kawan-kawannya. “Tahukah kalian gambar uang yang tercantum di tiap lembar uang kita, ada yang bergambar Bung Karno dengan nominal 100 ribu, I Gusti Ngurah Rai dengan nominal 50 ribu, Sultan Mahmud Adaruddin II dengan nominal 10 ribu, Pangeran Antasari dengan nominal 2 ribu, dan Pattimura dengan nominal seribu rupiah. Manakah dari nominal uang yang paling sering “berkunjung” ke masjid? Apakah uang bergambar Bung Karno atau Antasari? Apakah I Gusti Nugrah Rai atau Pattimura?”
Memang, terbukti beda “nasib” uang 100 ribu dan 2 ribu, meski sama-sama dicetak oleh Bank Indonesia. Pada suatu saat terjadilah “dialog” singkat yang bermula dari bertemunya uang kertas seribu (1000) dengan uang kertas seratus ribu (100.000), lalu bilang, “Hai, ke mana saja kamu? Aku jarang lihat kamu akhir-akhir ini.” Uang kertas seratus ribu menjawab, “Aku habis pergi ke supermarket, mall, bioskop dan hal-hal semacam itulah. Kalau kamu?” Uang kertas seribu bilang, “Tau sendirilah, seperti biasa, aku tergeletak di celengan masjid.”
Itulah kita selama ini. Sering kali kita “menganaktirikan pahlawan.” Untuk urusan kepuasan materi, uang 100 ribu boleh berbangga namun miskin manfaat dan hanya beredar di kalangan elite, di restaurant mahal, hotel berbintang. Sementara uang 1000 sering berada dalam keadaan kotor dan lusuh, beredar di tukang sayur, abang becak, ojek, pengamen, hingga pengemsi yang renta, celengan masjid, tapi ia kaya manfaat, banyak member kontribusi dan dampak dalam membangun semangat saling tolong menolong.
Dari kenyataan itu, pantaslah kita bertanya kepada diri sendiri, sejauh mana kepedulian kita terhadap sesama yang membutuhkan uluran tangan kita? Di pelbagai lokasi dengan mudah kita temukan saudara kita sendiri rela merogoh kocek dalam-dalam dari angka ratusan ribu hingga jutaan rupiah demi menonton penyelenggaraan sebuah konser grup musik papan atas, sementara di perbagai daerah banyak bayi-bayi terkena busung lapar, merengek-rengek iba, ibunya hanya bisa menangis tak punya biaya untuk membeli makanan dan susu layak gizi karena harga yang melambung tinggi.
Di manakah “pahlawan” Bung Karno kita selama ini ketika kita rela membelanjakannya di bioskop, pusat-pusat perbelanjaan, butik-butik high class, padahal sering kita dengar berita anak yang tewas gantung diri karena malu orangtuanya tak sangup membiayai sekolahnya. Orangtuanya yang bekerja sebagai buruh harian dan bahkan kerja apa saja, tak lagi sanggup berpikir bagaimana biaya sekolah anaknya, untuk berpikir makan apa hari ini saja masih menjadi kabut misteri baginya.
Dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam, “Ya Rasulullah, sedekah yang bagaimanakah yang paling besar pahalanya?” Rasul menjawab, “Bersedekah pada waktu sehat, pada saat tamak harta, di kala takut miskin, dan sedang berangan-angan menjadi orang yang kaya. Janganlah kamu memperlambatnya sehingga maut tiba, lalu kamu berkata, ‘Harta untul si Fulan sekian dan untuk si Fulan sekian, padahal harta itu telah menjadi milik si Fulan (ahli waris).’” (HR. Bukhari-Muslim).
Ramadhan adalah syahrul muwaasah (bulan solidaritas). Dalam bulan suci ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam menjadi sosok yang lebih dermawan disbanding bulan-bulan selainnya. Abdullah bin Abbas ra. berkata, “Nabi adalah manusia paling dermawan dan sifat dermawannya semakin bertambah pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari-Muslim).
Kedermawanan beliau mengilhami para sahabatnya. Dalam sebuah pertempuran, tepatnya perang Tabuk, kala itu persedian finansial menipis sementara kebutuhan cukup besar. Nabi melakukan mobilisasi dukungan material dan moral sekaligus. Datanglah Umar bin Khathab ra. dengan setengah hartanya. Nabi bertanya, “Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” Dijawab oleh Umar, “Sebanyak yang kuserahkan.”
Tidak lama berselang datanglah Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan membawa seluruh hartanya tanpa menyisakan sedikitpun untuk keluarganya. Tanya Nabi, “Wahai Abu Bakar, apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab dengan meyakinkan, “(Kutinggalkan untuk keluargaku) Allah dan Rasul-Nya.” Mendengar jawaban ini, Umar menyahut, “Aku tidak akan bisa mengalahkannya.”
Bukan pada banyaknya penghasilan yang kita peroleh tapi seberapa banyak manfaat yang berhasil kita tebarkan kepada orang lain. Bukan seberapa banyak harta yang kita miliki yang menjadi persoalan, namun sejauh mana manfaat yang terkandung di dalamnya. Ini yang jauh lebih penting.
Bagaimana? Siapakah pahlawan favorit Anda yang paling sering ke masjid, beredar pada anak-anak yatim, para fakir-miskin, anak-anak putus sekolah, janda-janda tua? Para salaf pernah ditanya, “Mengapa puasa itu disyariatkan atas diri kita?” Dijawab, “Supaya orang-orang kaya bisa merasakan rasa kelaparan sehingga tidak melupakan nasib orang-orang yang lapar.” Wallahu A`lam Bis Shawaab.*
Penulis adalah Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang
0 comments:
Post a Comment