Puasa gelar itu masih akan berlanjut. Setidaknya hingga dua tahun mendatang, sebelum SEA Games bergulir lagi dan kita memompa asa bahwa timnas Indonesia kembali akan menggondol medali emas.
Tadi malam, di hadapan sekitar 80 ribu pasang mata, Egi Melgiansyah dkk gagal. Menghadapi Malaysia, tim Garuda Muda takluk 4-5 melalui drama adu penalti. Ketika bola hasil eksekusi penalti kapten Malaysia, Bakhtiar Baddrol, bergulir masuk gawang Kurnia Meiga, saat itulah kita tahu kalau kenangan manis dari Manila tahun 1991 tidak terulang di Senayan.
Orang boleh bilang kalah adu penalti adalah kalah dalam hal keberuntungan. Sah-sah saja berpendapat seperti itu, tapi kenyataannya adalah Indonesia dua kali bertemu Malaysia di SEA Games ini dan kita selalu gagal menang. Ini menjadi indikasi bahwa Indonesia memang belum layak jadi juara.
Tentu saja, bukan berarti upaya keras yang dilakukan Rahmad Darmawan, Widodo Cahyono Putro dan Aji Santoso kepada Egi, Gunawan Dwi Cahyo dan kawan-kawan jadi sia-sia. Tidak seperti itu. Sejak pertandingan pertama hingga final, mereka terbukti mampu bermain baik dan menghibur. Keberhasilan menumbangkan Singapura, Thailand dan Vietnam juga bukan prestasi sembarangan mengingat mereka juga tim yang terhitung tangguh di Asia Tenggara.
Keberadaan timnas juga terbukti (sekali lagi) mampu menyatukan masyarakat kita yang terfragmentasi. Tak peduli suku, agama, hingga pandangan politik, semua menyokong Patrich Wanggai, Titus Bonai dan Octo Maniani yang dari Papua, Rahmad yang asal Lampung, atau Andik yang orang Jawa.
Tapi singkirkanlah dulu semua sentimen emosional dan segala sesuatu yang sifatnya subjektif. Faktanya, Indonesia gagal juara. Dan seperti para bijak bestari bilang, sejarah hanya mencatat mereka yang jadi pemenang dan yang kalah akan dilupakan.
Mari melongok sejenak apa yang terdapat di kubu Malaysia. Sang pelatih, Ong Kim Swee, menyebut bahwa keberhasilan timnya mempertahankan emas SEA Games adalah buah dari pembinaan berkelanjutan. Nah, kata kuncinya adalah pembinaan berkelanjutan, dan itu cuma bisa didapat dengan kompetisi yang teratur dan terjenjang.
Apakah kita sudah punya itu semua? Tentu saja jawabannya tidak. Kompetisi kita berhenti karena PSSI yang tidak becus. Akibatnya, klub-klub lebih sibuk bertarung di media dan dalam rapat ketimbang mengadu taktik dan strategi di lapangan.
Padahal, sehebat apa pun bakat pemain, kemampuan terbaiknya tidak akan muncul bila ia tidak terasah dalam kompetisi. Semua orang rasanya sudah paham dengan kredo ini.
Jadi, setelah kegagalan menyesakkan tadi malam, sekarang saatnya kembali ke awal. PSSI sebagai organisasi tertinggi sepak bola harus mampu menggelar kompetisi yang sehat, teratur dan berjenjang — yang pada muaranya akan menghasilkan tim yang mampu berkompetisi di level Asia Tenggara, Asia bahkan dunia.
Waktu untuk itu tidak banyak. Tahun depan, pergelaran Piala AFF akan kembali bergulir. Segeralah berbenah atau lagi-lagi kita akan gigit jari melihat kegagalan timnas Indonesia.
Sumber : id.yahoo.com
0 comments:
Post a Comment